Siapa yang tidak mengenal Teori Jendela Johari (Johari Windows)? Kalau kamu anak Psikologi, Ilmu Komunikasi, atau anak Ekonomi (Manajemen khususnya), kamu bakalan enggak asing sama teori yang satu ini, mengapa? Karena teori ini sering dikaitkan dengan konsep diri dan seberapa dalam kamu mengenal diri kamu, katakanlah teori ini sebagai pelengkap dari SWOT Analysis yang sangat berguna dalam mengembangkan diri kamu untuk menjadi lebih baik lagi.
Teori Jendela Johari ini saya dapat dari mata kuliah Komunikasi Bisnis. Kala itu, kami sedang membahas tentang materi “Konsep Diri”, tentang siapa kamu dan apa yang akan kamu lakukan ketika kamu sudah terjun di tengah masyarakat. Intinya, teori ini sangat membantu kamu untuk lebih mengenal diri kamu dan mengoptimalkan apa yang sudah kamu punya serta menggali apa yang belum kamu punya. Karena saya mendapatkan materi ini dari makul KomBis, teori ini kemudian dikaitkan dengan kegunaannya dalam menunjang keterbukaan kita dan kemampuan kita dalam berkomunikasi, lalu bagaimana manfaatnya dalam hubungan antar kelompok.
Dinamakan “Jendela” karena teori ini menyimpulkan sisi keterbukaan atau kesadaran diri seseorang dalam bentuk empat kotak yang menyerupai jendela. Yang membedakan individu satu dengan yang lainnya adalah porsi tiap-tiap jendela.
- Daerah Terbuka atau Open Area : Informasi yang kita ketahui tentang diri kita dan orang lain mengetahuinya. Contohnya : Nama, jenis kelamin, status lulusan, jabatan dan lain-lain. Semakin besar “Open Area”, makin produktif dan menguntungkan hubungan interpersonal kita.
- Daerah Tertutup atau Hidden Area : Informasi yang kita ketahui tentang diri kita, tetapi orang lain tidak mengetahuinya atau tertutup untuk publik. Contohnya : Kondisi Keuangan, latar belakang keluarga, riwayat kesehatan dan lain-lainnya. Semakin besar “Hidden Area”, maka “Open Area” semakin menyempit dan mempersulit komunikasi dengan orang lain.
- Daerah Buta atau Blind Area : Informasi yang tidak kita ketahui tentang diri kita, tetapi orang lain mengetahuinya. Contoh : perilaku, kebiasaan, tipikal, kemampuan atau bakat yang menempel pada diri kita, tetapi tidak sadari dan justru diketahui oleh orang di sekeliling kita. Semakin besar “Blind Area” dan mendesak wilayah lain, maka akan terjadi kesulitan dalam berkomunikasi. Sebaliknya, ketika kita memahami kekuatan dan kelemahan diri kita yang diketahui oleh orang lain, maka akan semakin bagus dalam kerjasama tim.
- Daerah Gelap atau Unknown Area : Informasi yang tidak kita ketahui tentang diri kita dan orang lain pun tidak mengetahuinya. Kebanyakan daerah gelap ini dijumpai pada anak-anak muda yang sedang dalam proses pertumbuhan dan minim pengalaman atau kepercayaan diri. Jendela ini akan semakin mengecil seiring dengan pertambahan usia dimana kita semakin tumbuh dewasa, mulai mengembangkan diri dan belajar dari pengalaman atau perjalanan yang sudah kita lewati.
Dari penjelasan di atas, kita bisa sedikit menerka dan menyimpulkan tentang seberapa terbukanya kita terhadap orang lain. Jendela manakah yang selama ini mendominasi kepribadian kita dan apa yang harus kita lakukan agar komposisi antara jendela yang satu dengan jendela yang lain ideal. Teori Johari Windows lebih lanjut menjelaskan tentang seperti apa jendela yang ideal itu.
Idealnya sebuah jendela diri bisa dilihat dan dinilai dari tingkat kepercayaan dalam kelompok atau hubungan dengan individu lain. Area terbuka menyarankan kita untuk membuka diri kepada anggota kelompok lainnya, karena dengan adanya keterbukaan, anggota kelompok lain tidak akan bersikap tertutup kepada kita atau justru akan memaklumi dan mengerti tentang kondisi kita. Mereka akan mengerti bagaimana sikap dan sifat kita, yang pada akhirnya akan memberikan feedback yang positif pula untuk kita.
Nah, intinya, keterbukaan diri itu perlu, terlebih jika kamu berada dalam sebuah tim dan merencanakan sebuah proyek yang keberhasilannya bergantung dari kerja sama antar individu di dalamnya. Ilmu Komunikasi Bisnis pun mengatakan hal serupa, bahwa keterbukaan adalah kunci dari komunikasi yang efektif dan menjanjikan sebuah informasi tersalurkan secara tepat serta feedback yang sesuai dengan harapan. Mengapa demikian? Karena faktanya, ketika kita semakin mengenali diri kita dan terbuka dengan orang lain, maka tingkat kepercayaan diri akan semakin bertambah, meskipun sebenarnya kepercayaan diri masih dipengaruhi oleh beberapa aspek lain.
Tentang Jendela Jauhari…
Ada banyak hal yang masih membuat saya bertanya-tanya tentang teori ini. Tentang seberapa pentingkah sebuah keterbukaan dan apa yang terjadi ketika seseorang lebih memilih untuk menutup diri karena takut dikecewakan? Atau mungkin dilukai keterbukaannya oleh orang lain? Well, as i’ve said before, i may get emotionally into this matter, hahaha and you must read this post until the end.
Kesuksesan seseorang dalam berkomunikasi mungkin memang bisa diukur dari seberapa terbukanya dia dengan orang lain, tetapi bukankah ketertutupan juga dibutuhkan dalam sebuah kehidupan sosial? Oke, teori adalah teori yang tidak semua orang mengaplikasikannya. Saya setuju dan menyukai teori ini, saya juga setuju bahwa setiap porsi dalam masing-masing jendela haruslah ideal, tetapi ada satu sisi yang ingin saya kritisi. Ya, saya ingin mengkritisi tentang keterbukaan dan hubungannya dengan kepercayaan diri. Sekali lagi, ini adalah bentuk opini yang setiap orang memiliki alasannya sendiri-sendiri dan segi penilaian yang terpusat pada sisi yang berbeda.
Keterbukaan menurut Ina adalah…
Keterbukaan menurut saya adalah ketika kamu merasa bebas menyampaikan apa yang kamu rasakan, entah hal yang bersifat umum, privasi, sepele, penting, bermutu ataupun berbobot, kamu bebas mengutarakannya. Meskipun kebebasan itu relatif, paling tidak, kamu pasti pernah merasakan keraguan ketika akan menyampaikan suatu gagasan atau perasaan. Bukan karena tidak PD, tetapi karena kamu tidak yakin dengan orang yang kamu ajak bicara.
Apa yang ingin saya tekankan disini adalah, keterbukaan itu bukan sepenuhnya bergantung pada “subjek”, melainkan juga “objek” atau orang yang diajak bicara. Seringkali orang mengaitkan keterbukaan dengan tingkat kepercayaan diri ataupun tingkat keloyalitasan yang ada pada diri seseorang. Semakin terbuka, maka semakin banyak teman, semakin percaya diri dan semakin mudah berkomunikasi. Mungkin hal itu berlaku untuk beberapa orang, tetapi tidak untuk beberapa orang lainnya.
Faktanya, ada beberapa orang yang sedikit tertutup dan tetap memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Tertutup di sini bukan berarti introvert atau anti-sosial, tetapi lebih ke tertutup dalam menyampaikan privasi atau hal-hal yang berkaitan langsung dengan diri dan kehidupannya. Di sisi lain, orang-orang tipe seperti itu adalah orang-orang yang tidak dengan mudahnya percaya pada orang lain, tetapi tetap menghargai keberadaan mereka dan menganggap mereka sebagai rekan kerja yang layak dimiliki. Orang tipe ini bukanlah orang yang sulit untuk terbuka, mereka hanya menunggu waktu dan memilah siapa saja yang sekiranya pantas untuk mengetahui segala hal tentang dirinya.
Saya pernah mengamati sebuah fenomena, tentang seseorang yang mudah sekali mengungkapkan isi hatinya, mengatakan pada beberapa orang tentang sosok yang ia sukai dan ia cintai, lantas perasaannya tersebar luas hingga ke telinga orang yang ia suka. Kamu tahu bagaimana respon orang itu? Ia santai saja, ia justru berkata, “Yahh dia udah tahu, mau bagaimana lagi?” kemudian saya menarik sebuah pertanyaan, “Apakah percaya diri seperti ini yang dimaksud dalam sebuah konsep keterbukaan?” Jujur saja, saya sedikit tidak menyukai tipe orang seperti itu, terbuka yang ia miliki adalah terbuka yang cenderung tidak tahu malu dan terbuka yang tidak bertanggung jawab. Oke, ia tergolong berani karena sifat keterbukaannya, tetapi keterbukaan seperti itu bukanlah keterbukaan yang sesungguhnya menurut saya.
Hanya saja, saya dikagetkan oleh fenomena lainnya yang saya amati akhir-akhir ini, tentang seberapa menariknya orang yang bersifat terbuka dan pengalaman hidup yang luar biasa yang kemudian ia alami atas konsekuensinya bersifat terbuka. Objek pengamatan saya kali ini adalah sosok yang kebetulan dekat dengan saya, sebut dia si X. Si X mudah membagikan ceritanya, mudah sekali mengungkapkan isi hatinya dan mudah sekali untuk terbuka dengan orang yang baru saja ia kenal dalam hitungan hari. Sisi positifnya, Si X mudah bergaul dengan siapa saja, menganggap orang baru adalah harta yang harus ia dapatkan bagaimanapun caranya, dan rasa kepercayaandiri yang tinggi yang kemudian membuatnya dikenal oleh beberapa orang.
Sisi negatifnya, Si X memiliki beberapa haters dan segudang kisah complicated, ia sering disakiti dan dikhianati karena sifat keterbukaannya, ia sering mendapat cemoohan, omongan negatif dan kritikan pedas yang kadang tidak sesuai dengan fakta. Dia mendapatkan beberapa pelajaran hidup yang menyakitkan, tetapi justru membuatnya berdiri semakin tegar, tidak merasakan trauma atau benci atas keterbukaannya. Saya iri dengan SI X dalam aspek itu, dalam hal menghadapi cobaan hidup dan durasi yang ia butuhkan untuk berdiri tegak kembali.
Sejauh ini, apa yang dapat saya serap dari pengalaman hidupnya adalah… menjadi terbuka dengan orang lain itu menyenangkan, tetapi ada sisi negatif di balik rasa menyenangkan itu. Begitu pula ketika kamu memutuskan untuk tidak terlalu terbuka, ada sisi negatif dan positif yang akan kamu dapat, karena hidup selalu menawarkan pilihan dengan berbagai macam ancaman di baliknya. Namun, sebagai sosok yang tidak begitu terbuka, saya mengagumi perjalanan hidup Si X. Melihatnya, membuat respek saya terhadap orang yang terbuka menjadi bertambah, setelah sebelumnya disuguhi fakta bahwa orang terbuka itu tidak mengenal malu.
Melihatnya, membuat saya kagum atas rasa kepercayaandirinya, saya ingin seperti itu, tetapi saya tidak bisa. Saya membuat garis yang cukup tebal tentang keterbukaan, karena saya paham betul bagaimana rasanya dikhianati setelah kamu terbuka dengan orang lain. Saya paham rasanya ketika kamu sudah terbuka, tetapi orang lain mempermainkan keterbukaan itu dan memanfaatkannya sebagai belati tajam. Saya tahu, karena saya pernah mengalaminya. Mungkin karena alasan itulah saya mulai menganggap bahwa Keterbukaan tidaklah sepenting itu, keterbukaan itu pilihan, bukan keharusan atau tuntutan.
Ia mungkin saja memiliki area keterbukaan yang lebih luas dari saya, tetapi ia memiliki satu pemikiran dengan saya. Ya, dia menganggap bahwa keterbukaan bukanlah tolak ukur dalam menilai tingkat kepercayaan diri atau kesupelan seseorang dalam lingkungan sosial. Keterbukaan adalah faktor kesekian yang hanyalah pelengkap dalam menjalankan komunikasi verbal dan kehidupan sosial. Baginya, kunci utama dari tingkat kepercayaan diri seseorang adalah seberapa besar ia mengenal dirinya, seberapa dalam ia mempercayai dirinya, dan di sinilah SWOT Analysis bekerja.
Sependapat dengannya, kepercayaan diri bukan hanya bersumber dari keterbukaan seseorang terhadap orang lain, tetapi keterbukaan dengan diri sendiri, penerimaan atas apa yang ada dalam diri kita dan menjadikannya kekuatan untuk menghadapi orang lain. Di sinilah alasan mengapa pada akhirnya saya mengkritisi teori Jendela Johari, karena keterbukaan menurut saya, bukanlah penentu atau satu-satunya faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri seseorang. Banyak beberapa orang yang terbuka, bahkan cenderung terlalu terbuka atas kehidupan pribadinya, tetapi tidak bisa berbicara di depan orang banyak dan tidak menyukai diskusi forum terbuka. Ada pula beberapa orang yang cenderung tertutup, memiliki batas atas keterbukaanya, tetapi dengan PD nya mampu berbicara di depan orang banyak yang kemudian membuatnya dianggap berkompeten dan bernilai.
Ya, keterbukaan adalah pilihan, bukan keharusan ataupun tuntutan.
Warm regard,
0 comments:
Post a Comment