Mutual Understanding




Hai! Akhirnya, aku kembali!
  
Selamat datang di blogku! Semoga harimu menyenangkan, dan menenangkan yaaa.

Anyway, tadi pagi, setelah keramas dan bersih-bersih, aku membuka laptopku dan memutar musik secara acak. Selang satu menit, aku hanyut dan beberapa pertanyaan mulai bermunculan di pikiranku. Mereka adalah pertanyaan yang sering terlontar untukku dari beberapa orang di sekelilingku. Entah mengapa, pertanyaan itu cukup mengganggu. Bukan! Bukan menganggu dalam artian yang kamu pikir barusan. Ini lebih ke perasaan dimana aku ingin menjawab pertanyaan itu secara lebih detil tetapi terkendala oleh waktu, juga respon otakku yang kadang setara pentium satu.

Berawal dari pertanyaan yang cukup mengganggu itulah akhirnya aku menulis ini. Teruntuk kamu, orang-orang di luar sana yang pernah mendapatkan pertanyaan yang serupa, semoga kamu membaca tulisanku karena mungkin ini akan sedikit membantu. Bukan membantu dalam porsi yang besar sih, tapi paling tidak, ketika kamu membaca ini, kamu akan berpikiran, “Wah, ternyata Inak juga pernah digituin, aku enggak sendiri, syukurlah!” Thats right! Perasaan lega semacam itulah yang ingin aku tularkan. Setelahnya, aku harap kamu bisa menemukan jawaban yang lebih baik dan lebih nyenengin versi kamu. Lebih asyik lagi sih kalau kamu juga share jawabanmu ke aku, hahaha.

Baiklah, kita mulai dengan pertanyaan yang menjadi sumber dari tulisan ini.

“Na, kok kurusan?”
“Lama enggak ketemu kok kamu makin kurus, Na?”
“Heh, yang lain kuliah makin berisi, kenapa kamu makin mengecil?”
“Kamu lagi banyak pikiran? Kok kurusan?”
“Kenapa kamu enggak gendut-gendut sih, Na?”
“Na, kamu berisi dikit lagi bagus lhohh, jadi makin proporsional, ga pengen?”

Nah, setelah melihat beberapa pertanyaan di atas, kamu mungkin bisa menebak kira-kira topik apa yang akan aku bahas di postinganku kali ini. But first, pernahkah kamu menerima pertanyaan semacam itu? Pertanyaan yang berkaitan dengan visual kamu, entah masalah body size, skin tone atau mungkin identitas fisik lainnya yang cukup menganggu kamu. Normal tidak sih kalau kamu merasa terganggu akan pertanyaan semacam itu? Lalu, apa jawabanmu? Diam? Membalasnya dengan santai? Atau mungkin, kamu akan menjejalinya dengan pertanyaan yang sama?

“Ahhh, aku mah santai Na, justru aku guyonin balik. Niatnya dia sihh mungkin bercanda dan mencairkan suasana, its okay lah,” ujar beberapa dari kamu. Sementara beberapa yang lainnya diam dan sisanya akan menjawab seperlunya, seperti aku. Wajar sihhh, perbedaan itu memang wajar. Untuk kamu yang bisa menanggapi pertanyaan semacam itu dengan bahagia tanpa sedikit rasa kesal, you’re really the real MVP! Aku tidak sungkan untuk mengapresiasi caramu! Hanya saja, tidak semua orang memiliki cara merespon yang seperti itu dan tidak baik rasanya jika cara orang yang satu bisa dibenarkan lalu menyalahkan cara yang lainnya.

Kalau kamu lantas menambahkan, “Ya, biasalah! Biasanya sih cewek yang seperti itu, mereka kan baperan.” Eits, maaf saja, sepertinya kamu tidak layak untuk aku apresiasi dan akan lebih bijak jika aku menarik kembali apreasiasiku. Bagiku, pernyataan semacam itu sama saja dengan menganggap bahwa kebenaran mutlak berada di tangan mereka yang ‘tidak baperan’. Lalu, bagiku, anggapan seperti itu tidak seharusnya dimiliki oleh seseorang dengan kualitas intelektual tinggi. Mereka yang berkualitas secara intelektual, tahu betul bahwa ada hal yang tidak bisa digeneralisasikan dan dianggap sama antara orang satu dengan orang yang lainnya. Tingkat kesensitifan, misalnya.

Kalau aku nih, jawabanku bervariasi seiiring dengan berlalunya waktu dan bergantung juga pada suasana hatiku saat itu. Iya, sama seperti kamu, aku pun pernah dan bisa dibilang sering sih mengalami hal semacam body shamming gitu. Ya, sering sekali donk! Anehnya, aku tidak pernah merasa baik-baik saja ketika diberi pertanyaan semacam itu meskipun kuakui, aku mulai terbiasa dengan rasanya. Ya, mungkin aku berhasil menjawab sekenanya, tetapi kondisi moodku tidak akan sebaik dan secerah itu setelahnya.

Pernah, pada suatu waktu, entah apa yang merasukiku, aku menjawab dengan ketus, “Iyalah, kurus, kenapa? Kamu pengen?” Wah! Yang nanya kesinggung donk? Enggak lah! Kamu tahu, respon dia apa setelah itu? Tertawa. Dia tertawa seolah jawabanku lucu dan pertanyaan dia sebelumnya adalah umpan untuk melucu. Jahat, kan? Well, tenang saja, sudah aku maafkan, meskipun dia tidak meminta. The point is, aku jarang mendapatkan respon yang baik selepas menjawab pertanyaan mereka.

“Eh, aku cuma guyon loh, Na!”
“Na, nggak lucu deh kalau kamu marah karena kalimatku barusan.”
“Kok kamu gampang marah sih?”
“Aku kan cuma tanya, Na!”
“Na, kok ketus gitu sih jawabnya, aku kan nanya baik-baik.”

Kurang lebih, yaaa respon semacam itu yang sering keluar dari mulut si penanya. Ngeselin, kan?  Iya, ngeselin pisan! Menurutku, semua hal yang menyangkut body shaming itu tidak ada yang menyenangkan, justru tergolong kasar dan tidak pantas untuk dilontarkan. Apalagi kalau tujuan dari semuanya itu adalah lelucon belaka, itu jahat namanya. Hanya saja, aku ingat kalau aku dan kamu adalah manusia, begitu juga mereka yang sering melakukan body shaming itu. Katanya sih, menjadi manusia adalah wajar ketika kita melakukan kesalahan dan tidak sengaja menyakiti sesama atau lupa adanya batasan, entahlah. Namun ada baiknya kalau aku dan kamu mulai belajar menjadi manusia yang lebih memanusiakan manusia, misalnya nih, meminta maaf setelah melakukan kesalahan atau paling tidak, mencoba buat mengerti apa yang ada di pikiran manusia lainnya. Kalau dalam bahasa inggris, kita menyebutnya mutual understanding. 

Iya, mutual understanding. Jika diartikan dalam bahasa indonesia bermakna saling pengertian.

Contoh paling sederhana dari mutual understanding dalam berbincang dengan kawan adalah, sesekali ibaratkan diri kamu berada di posisi kawan yang hendak kamu ajak berbincang itu. Berhenti buat mengatakan, “Halah, riweuh banget deh, lagian mau ngobrol santai jugaaa!” Iya, niat kamu memang hanya ngobrol santai, tapi bukankah ada perbedaan antara komunikasi yang dilakukan oleh manusia dengan komunikasi yang dilakukan oleh binatang? Apa hayooo? Thats right! Perasaan, emosi, otak dan akal, mereka itu yang membedakan kita dengan binatang. Mereka itu yang membuat komunikasi manusia terbilang sempurna. Kalaupun tujuan kamu bercanda lalu tidak sengaja menyinggung hati lawan bicaramu, ucapkanlah maaf. Begitu pula ketika kamu secara tidak sengaja sudah melakukan body shamming, jangan gengsi untuk meminta maaf! 

Oke, catat, jangan lupa mutual understanding, yaaa! Jangan lupa untuk belajar memahami sesama agar kita juga dipahami oleh mereka! 

Mari kembali ke masalah body shamming. 

Hal pertama yang kulakukan setelah mendapatkan body shamming dari teman adalah tarik nafas, lalu mencoba untuk mengkontrol suasana hatiku agar tidak kalut dalam kemarahan. Iya, wajar kok kalau kamu marah dan kesal setelah diberi pertanyaan tak menyenangkan itu, aku pun demikian. Mengapa wajar? Karena rasanya seperti dihakimi secara sepihak. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi pada diri kita. Alih-alih menanyakan kabar atau perjalanan menarik apa yang sudah kita lalui, mereka lebih tertarik dengan apa yang nampak secara fisik, body size misalnya.

“Kok bisa gitu, sih? Bisa terlihat sejahat itu yaaa body shamming?” 

Gini deh, aku contohin diriku sendiri saja. Ketika kamu bertanya, “Kenapa kamu enggak gendut-gendut sih, Na?” kamu seperti terheran-heran dengan kondisi fisikku lalu mempertanyakan ketidakmampuanku dalam membentuk tubuh yang katanya body goals itu. Di sisi lain, kamu seolah-olah melihat sosokku yang nampak tak ada usaha dan tak ada kerja keras dalam membentuk badan. Padahal, tahu apa sih kamu? Kamu tidak tahu sudah berapa banyak cara kucoba untuk menaikkan berat badan. Kamu tidak tahu sudah berapa kali aku berhasil menaikkan berat badan tetapi selalu saja ada faktor x yang akhirnya membuatku kehilangan berat badanku lagi. Kamu tidak tahu bahwa ada satu masa dimana aku sudah putus asa dan ingin mencoba cara instan seperti mengkonsumsi obat penggemuk, tetapi tidak direstui oleh ibuk karena beliau khawatir akan ada efek sampingnya.

Iya, tahu apa sih kamu. Kamu hanya tahu apa-apa yang sebenarnya kamu nilai dari cara pandang kamu, lalu lahirlah asumsi tak berdasar dan tak valid versi diri kamu. Padahal, apa yang ada di badanmu itu tidak akan sama dengan apa yang ada di badanku, dan tentu saja tidak akan sama dengan badan manusia lainnya. Kamu, bisa saja mengatakan, “Apa sih susahnya naikin berat badan sampai kamu masih kurus aja?” dengan mudah tetapi bagiku dan bagi beberapa manusia di luar sana, menaikkan berat badan tak segampang makan-minum-tidur-makan-minum-ulang terus. Sama halnya ketika kamu mengatakan, “Apa sih susahnya nurunin berat badan?” ke mereka yang dianugerahi berat badan berlebih, gampang diucapkan memang, tapi itu dilihat dari sisimu, bukan dari sisi orang yang kamu ajak bicara.

Gimana? Jahat bukan? Bagi kamu, pertanyaan semacam itu mungkin saja wajar dan yahhh, apaan sihhh kan cuma buat bercanda doank, lagian enggak bermaksud buat body shamming juga kok. Namun, bagi orang lain, pertanyaan semacam itu bisa saja menjadi bom yang siap meledak kapan saja lhoh, bisa saja menjadi teror bagi keberlangsungan hidup mereka, bisa pula menjadi virus baru yang menganggu kesehatan mental mereka. Kamu tidak tahu seberapa besar usaha mereka, tetapi kamu berkata seolah usaha mereka tak seberapa. Ya, bayangkan saja rasanya ketika kamu sudah berusaha tetapi masih saja dianggap tak berusaha.

Itulah mengapa kita membutuhkan mutual understanding. Hentikan body shamming! Kalau mereka tidak bisa berhenti untuk melakukan body shamming dan menganggap ajakanku atau ajakanmu ini adalah bentuk distorsi dari guyonan ke perasaan, ayo kita mulai dari diri kita sendiri! Terutama aku dan kamu yang tahu betul bagaimana rasanya menjadi korban body shamming. Sadar atau tidak, sebenarnya sakit hati yang ditimbulkan oleh body shamming ini bisa terkikis oleh pernyataan, “Demi Tuhan, aku tidak akan melakukan hal serupa ke orang lain!” lhohh! Coba deh! Aku sering melakukan itu dan itu bekerja dengan baik dalam menyembuhkan sakit hatiku. 

Ya, hal kedua yang kulakukan  setelah menerima body shamming adalah berdamai dengan diriku sendiri. Aku melihat diriku lalu aku sadar bahwa emosi dan sakit hati hanya akan menguras energiku, sementara mereka –yang merupakan sumber dari sakit hati itu– nampaknya tak mengeluarkan energi sedikitpun. Berdamai bukan berarti kamu baru saja berseteru dengan dirimu dan kamu kalah, ini lebih ke perasaan dimana kamu melepaskan suatu pemberian yang sudah kamu terima dan pertahankan, padahal sesuatu itu tak layak untuk kamu simpan. Betul! Kamu melepaskan sakit hatimu dan membiarkan dia pergi, karena memang sudah seharusnya dia pergi. Berdamai inilah jalan yang paling pas untuk semua jenis sakit hati, menurutku. 

Setelah berdamai, aku menanamkan sebuah pernyataan di pikiranku bahwa jika aku tidak menyukai sesuatu, maka aku tidak akan memberikan sesuatu itu ke orang lain. Bahwa sebaik-baiknya pemberian adalah yang layak disimpan dan memberikan kesan baik di hati penerimanya. Ya, aku tahu rasanya, maka aku tidak akan bermain dengan rasa itu lalu menyalurkannya ke orang lain. Berawal dari rasa itu pula, aku selalu berusaha untuk tidak melakukan body shamming ke temanku dan belajar untuk lebih memahami lawan bicaraku. Riweuh? Tentu saja! Kamu akan terbiasa kok nantinya. Tidak perlu sampai mendetil dan mencari latar belakang lawan bicaramu, cukup kontrol ucapan, saling menghargai dan tidak menyamakan orang yang satu dengan yang lainnya, itulah seni dari mutual understanding yang sebenarnya.

Dari sekian banyak paragraf di atas, poin utama dari tulisanku ini adalah, tidak masalah jika kamu merasa kesal setelah menjadi korban body shamming. Itu wajar, itu tanda bahwa kamu merasa kecewa karena apa yang sudah kamu perjuangkan terlihat begitu renyah menjadi bahan bercandaan mereka, pun tanda bahwa mereka tidak mengerti dengan pilihanmu dan tidak mengerti sedikit pun tentang kamu. Its okay! Kamu tidak bersalah, kamu sudah disakiti dan kamu berhak untuk marah. Hanya saja, pesanku, jangan sampai kamu larut dalam kemarahan lalu menyalahkan diri kamu sendiri. Berikan apresiasi untuk dirimu sendiri jika orang lain tidak dapat mengapresiasinya, apalagi melihatnya. Tarik nafas. Maafkan mereka dan berdamailah dengan dirimu. Lihat! Ada banyak hal di luar sana yang lebih menyenangkan untuk kamu pikirkan dan lebih layak untuk mencuri perhatianmu. Iya, tarik nafas! Maafkan mereka dan jangan melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lakukan. Jadilah baik karena rasa sakit yang pernah kamu terima, itu lebih menyenangkan untuk kamu ceritakan kelak ke anak-cucumu. 

Poin lainnya yang tidak kalah penting adalah kebutuhan akan saling memahami yang perlu kita tingkatkan. Iya, ayo ciptakan mutual understanding yang lebih layak!

Kaitannya dengan body shamming? 

Cukup dengan menghentikan kebiasaan kamu dalam mengkomentari penampilan fisik lawan bicaramu! Ya, mulailah sedikit demi sedikit karena body shamming adalah ciri bahwa kamu belum cukup dewasa dalam bermasyarakat. Daripada kamu berkomentar mengenai fisik, ada baiknya bertanya tentang kabar terlebih dahulu bukan? Bertanya tentang perjalanan hidup yang sudah dia lalui juga bisa lalu bertukar pengalaman dan pengetahuan secara tidak sadar. Thats the true meaning of meeting! Adanya pertemuan bukanlah untuk menciptakan luka atau bercanda masalah fisik, tetapi untuk menambah life lesson dan insight baru dari kawan lama. Sederhana sebenarnya! Hanya saja, kita kadang terlalu menyepelakan hal itu karena menganggapnya sederhana. Saking sepelenya, beberapa dari kamu sukar untuk berkata maaf setelah menyinggung perasaan, kamu justru lebih sering berkata, “Halah, baper-an yaaa kamu sekarang!” dan berbalik menyalahkan lawan bicara kamu. Susah memang, tapi lebih susah lagi ketika kamu harus melunakkan hati yang sudah terlanjur keras dan dingin, kan?

Poin terakhirku, ayo menjadi manusia yang lebih memanusiakan manusia dan berproses dengan apik! 

Ohiya, setelah membaca postingan ini, aku sangat open up dengan masukan dan saran dari kamu lhohh. Terima kasih sudah membaca :)


Warm regard,



0 comments:

Post a Comment